TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didin S Damanhuri memperkirakan oligarki ekonomi akan semakin mengendalikan politik Indonesia dalam dua tahun ke depan. Gejalanya terlihat dari bagaimana sejumlah regulasi disahkan di luar prosedur. Salah satunya adalah yang sedang ramai ditolak berbagai pihak yakni Perpu Cipta Kerja.
"Oligarki di tahun politik ini dan setelahnya akan semakin bekerja sebagai sebuah sistem. Oligarki akan subur dalam ekosistem politik yang tidak demokratis," ucap Didin dalam diskusi publik secara virtual yang diselenggarakan oleh Indef pada Kamis, 5 Januari 2022.
Baca: Refly Harun: Perpu Cipta Kerja Mempermainkan Konstitusi, Aneh Bin Ajaib DPR Tidak Menolak
Hal itu terbukti dari begitu cepatnya sejumlah regulasi atau undang-undang (UU) disahkan, bahkan di luar prosedur. Regulasi yang ia maksud antara lain, UU Minarba, UU KPK, UU Cipta Kerja, UU MK, UU IKN, UU HPP hingga yang paling anyar, Perpu Cipta Kerja.
Lebih jauh, Didin mengatakan gejala menguatnya oligarki ekonomi juga terlihat dari kasus minyak goreng yang sekarang sedang berproses di pengadilan. Meski sudah ditetapkan pelakunya, menurut dia, yang dianggap pelaku bukan tokoh utama dalam kasus tersebut. Pasalnya, Komisi Pengawas Persaingan Uaha atau KPPU telah menetapkan satu bukti yang menunjukan adanya oligarki gejala mafia.
Gejala lainnya adalah kondisi KPU saat ini yang menurutnya, penuh rekayasa dan kontroversial. Contohnya, dugaan pengajuan kandidat calonan presiden tertentu, perubahan sistem Pemilihan Umum (Pemilu) tanpa konsultasi DPR, hingga upaya jabatan presiden tiga periode atau penundaan Pemilu 2024.
Menurut Didin, faktor utama penyebab suburnya oligarki ekonomi di Indonesia adalah dibiarkannya para oligarki ekonomi menjadi investor politik. Oligarki ekonomi di Indonesia diperbolehkan menyuntikkan dana pada seluruh tingkatan pemilihan umum, mulai dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Legislatif (Pileg) hingga Pemilihan Presiden (Pilpres).
Didin menuturkan ada berbagai studi yang menunjukan bagaimana oligarki ini mempengaruhi pemilihan di berbagai daerah. Bahan, ia menyebut ada laporan yang mencatat sumbangan satu kelompok kepada partai politik bisa mencapai Rp 9 triliun pada satu pilpres.
Didin menjelaskan oligarki ekonomi dan politik ini, kata dia, sudah menjadi berkelanjutan sejak tahun 50-an sampai era reformasi. Embrio adanya oligarki ini adalah maraknya pelaku perburuan rente baik di bidang ekonomi maupun politik. Setelah mendapatkan keuntungan super, pemburu rente itu melakukan kartelisasi dan mafia barang dan jasa termasuk importasi.
Selanjutnya: "Kartelisasi yang telah menghasilkan akumulasi..."